
Kemenhut Siapkan 4 Aturan untuk Perdagangan Karbon RI. (Foto: Okezone.com/Freepik)
JAKARTA – Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menyusun empat peraturan turunan untuk memastikan integritas, transparansi, dan efektivitas implementasi Nilai Ekonomi Karbon (NEK) di sektor kehutanan. Hal ini dilakukan dalam rangka memperkuat tata kelola perdagangan karbon.
Wamenhut Rohmat Marzuki menjelaskan, Kementerian Kehutanan menyiapkan empat peraturan turunan untuk memperkuat tata kelola pasar karbon, yaitu revisi Permen 7/2023 tentang tata cara perdagangan karbon sektor kehutanan; Permen 8/2021 tentang zonasi hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan pada kawasan hutan lindung dan produksi; revisi Permen 9/2021 tentang pengelolaan Perhutanan Sosial; serta penyusunan peraturan baru tentang pemanfaatan jasa lingkungan di kawasan konservasi.
“Keempat regulasi ini akan menjadi landasan hukum yang kokoh untuk membangun pasar karbon yang kredibel, transparan, dan inklusif,” ujarnya di Paviliun Indonesia, COP30 UNFCCC di Belem, Brasil, Selasa (11/11/2025).
Wamenhut menjelaskan, terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) No. 110/2025 tentang Nilai Ekonomi Karbon menjadi tonggak penting yang menegaskan peran strategis sektor kehutanan Indonesia sebagai penyedia kredit karbon berintegritas tinggi. Perpres ini memastikan manfaat dari pasar karbon tidak hanya mendukung pencapaian target iklim nasional, tetapi juga memberikan keuntungan nyata kepada masyarakat melalui perhutanan sosial dan rehabilitasi lahan kritis.
Dengan demikian, masyarakat yang menjaga dan mengelola hutan berhak menikmati pendapatan dari upaya pelestarian yang mereka lakukan.
Pada Oktober 2025, Kemenhut mencapai capaian penting melalui penandatanganan Nota Kesepahaman dengan International Emissions Trading Association (IETA), yang membuka kerja sama peningkatan kapasitas, pertukaran pengetahuan, serta memperkuat keterlibatan Indonesia dalam pasar karbon global. Kemitraan ini juga memperluas partisipasi sektor swasta untuk turut andil dalam desain dan implementasi pasar karbon nasional.
“Semua upaya ini sepenuhnya selaras dengan visi nasional yang diartikulasikan oleh Presiden Prabowo melalui Asta Cita, khususnya pada dua pilar yang saling terkait, yaitu ketahanan pangan dan pengelolaan lingkungan,” kata Wamen.
Ia menambahkan bahwa arah pembangunan kehutanan menjadi seruan untuk mereformasi kelembagaan, memodernisasi tata kelola, dan menyelaraskan kemajuan ekonomi dengan integritas lingkungan.
Untuk mewujudkan visi tersebut, Kemenhut menggerakkan lima program unggulan yang menjadi landasan transformasi sektor kehutanan. Program tersebut mencakup:
(1) digitalisasi layanan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas;
(2) pengelolaan hutan yang adil melalui pengakuan hutan adat dan penguatan pengelolaan berbasis masyarakat;
(3) optimalisasi hasil hutan bukan kayu melalui agroforestri;
(4) penguatan konservasi untuk menjaga fungsi hutan sebagai paru-paru dunia; serta
(5) kebijakan satu peta untuk mengurangi konflik lahan dan memperkuat kepastian hukum.
Transformasi kebijakan ini menghasilkan capaian signifikan. Luas kebakaran hutan menurun drastis dari 2,6 juta hektare pada 2015 menjadi sekitar 213 ribu hektare pada 2025 melalui sistem peringatan dini dan koordinasi lintas pemangku kepentingan. Di sisi lain, Kemenhut juga memodernisasi 57 taman nasional dengan sistem pemantauan digital, peningkatan standar keselamatan, dan pengembangan ekowisata berkelanjutan.
Kemenhut juga mendorong proyek restorasi hutan skala besar. Salah satunya adalah kemitraan restorasi senilai USD 150 juta di Taman Nasional Way Kambas yang diproyeksikan menciptakan 750 lapangan kerja dan menghasilkan nilai ekonomi hingga USD 450 juta, sekaligus melindungi gajah Sumatera. Di Aceh, Inisiatif Konservasi Gajah Peusangan dibangun di atas lahan seluas 20.000 hektare yang melindungi sekitar 100 gajah liar dan mempromosikan koeksistensi manusia dan satwa.
















































