- Masyarakat adat di nusantara ini masih menghadapi berbagai persoalan, dari minim pengakuan dan perlindungan akan hak wilayah hingga tersingkir dari ruang hidup juga kerap dicap kafir, sesat, maupun tidak beradab oleh kalangan agamawan. Lebih parah, kebencian dan penyingkiran mereka alami selama bertahun-tahun.
- Pemimpin-pemimpin agama, supaya berkolaborasi bersama-sama menyelamatkan masyarakat adat dan lingkungan. Perlu upaya bersama mendorong gerakan antar iman dan masyarakat adat untuk keberlanjutan lingkungan dan keadilan melawan pemusnahan flora dan fauna di dunia.
- Jimmy Sormin, Pendeta dan Sekretaris Eksekutif bidang Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan (KKC) Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), merespons ini dan menyebut kalangan agamawan sedang membangun gerakan bernama interfaith rainforest inisiasi PGI. Perlu pertobatan kelompok-kelompok keagamaan, karena selama ini masyarakat adat menjadi obyek penginjilan atau dakwah.
- Dewi Kanti, Komisioner Komnas Perempuan menyatakan, Internasional Conference on Indigenous Religion menjadi forum penting menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, terutama perempuan adat yang kerap mengalami diskriminasi berlapis. Perempuan adat, tidak hanya menghadapi diskriminasi berbasis gender, juga kerap menjadi korban dari konflik agraria dan perampasan sumber daya alam.
Masyarakat adat di nusantara ini masih menghadapi berbagai persoalan, dari minim pengakuan dan perlindungan akan hak wilayah hingga tersingkir dari ruang hidup juga kerap dicap kafir, sesat, maupun tidak beradab oleh kalangan agamawan. Lebih parah, kebencian dan penyingkiran mereka alami selama bertahun-tahun. Bahasan itu muncul dari kalangan masyarakat adat dan para pemeluk agama leluhur dalam agenda pada The 6th Internasional Conference on Indigenous Religion (ICIR 6) di Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Ambon, Maluku, Oktober lalu.
Dalam diskusi itu terungkap, dakwah dan kristenisasi atau penginjilan disebut sebagai salah satu sumber penyingkiran oleh agamawan terhadap masyarakat adat. Sisi lain, para agamawan kerap berpihak pada penyumbang materi lebih banyak, dan mengabaikan kerusakan lingkungan serta penyerobotan lahan oleh para donatur itu.
Jimmy Sormin, Pendeta dan Sekretaris Eksekutif bidang Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan (KKC) Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), merespons ini dan menyebut kalangan agamawan sedang membangun gerakan bernama interfaith rainforest inisiasi PGI.
“Perlu pertobatan kelompok-kelompok keagamaan, karena selama ini masyarakat adat menjadi obyek penginjilan atau dakwah,” katanya.
Karena itu, perlu upaya bersama mendorong gerakan antar iman dan masyarakat adat untuk keberlanjutan lingkungan dan keadilan melawan pemusnahan flora dan fauna di dunia.
Pemimpin-pemimpin agama, supaya berkolaborasi bersama-sama menyelamatkan masyarakat adat dan lingkungan. Untuk itu, gereja-gereja di Ambon dan kalangan akademik dari Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) dan IAKN harus bisa membangun ruang-ruang perjumpaan yang datang dari bawah, bukan kalangan elit.
“Gerakan ini mengedepankan aspirasi aktor-aktor lokal dari masyarakat adat yang bekerja sama dengan gerakan lintas iman, akademisi, dan organisasi-organisasi masyarakat sipil secara setara,” kata Jimmy .
Berbagai perwakilan masyarakat adat datang, ada dari Pulau Seram, Maluku, seperti Naulu, Huaulu, dan Nuniali, dari Pulau Buru bahkan Talaud, Sulawesi Utara (Adat Musi), dan Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.
Sehari sebelumnya, dalam mengembangkan demokrasi dari bawah, kalangan akademisi juga mengambil sikap serupa. Rektor IAKN Ambon, Yance Z. Rumahur, menegaskan, sinergi antara masyarakat adat, penghayat agama leluhur, dan kalangan akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan lembaga-lembaga pemerintahan merupakan langkah penting.
Dengan begitu, terjadi perubahan pada kebijakan-kebijakan yang mampu menghapus pelanggaran hak-hak kelompok rentan dan memajukan yang terpinggrikan.
“Kerja sama IAKN Ambon dengan ICIR Rumah Bersama perlu dukungan lembaga-lembaga lainnya agar suara dari (Indonesia) timur terdengar,” ucap Yance.
Olivia Salampessy Latuconsina, Wakil Ketua Komnas Perempuan, mengatakan, perempuan adat belum banyak terlibat dalam demokrasi di kalangan warga. Hak kolektif perempuan adat masih menjadi catatan penting yang harus diadvokasi.
“Perempuan adat punya hak yang sama dengan laki-laki. Perempuan adat sering kali menjadi korban,” katanya.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), masih menemukan berbagai persoalan yang menimpa perempuan adat di Maluku. Hal ini terlihat dari belum adanya kebebasan terhadap hak untuk meyakini tuntutan spiritual leluhur.
Perempuan dan masyarakat adat di Maluku, seperti Suku Naulu di Seram, digiring menganut agama tertentu. Hal ini merupakan sebuah pemaksaan, hak kebebasan meyakini sebuah agama sebagai hak mendasar dihambat.
“Itu terjadi karena pemaksaan dari politik identitas yang masih ada negeri ini,” kata Dewi Kanti, Komisioner Komnas Perempuan, kepada wartawan di tengah ICIR 6.
Administrasi kependudukan digiring menjadi agama tertentu, berdampak kepada hak-hak sipil. Misal, KTP, perkawinan adat tidak tercatat, status hukum dari anak-anak adat menjadi tidak terlegitimasi.
“Hal ini membuktikan, negara ini masih melihat sebelah mata, bagaimana subjek masyarakat adat, subjek hukum, karena legal standing-nya tidak diberikan oleh negara.”
Belum lagi hak ulayat, aset-aset dari komunitas adat yang tidak bisa diberikan, hingga harus didaftarkan pada negara. Padahal, masyarakat adat sudah ada sebelum negara terbentuk.
“Ini pola pikir birokratis yang sangat melanjutkan rezim administratif. Hingga menghambat hak konstitusional masyarakat adat, yang harus dilindungi dan dipastikan oleh negara,” katanya.
Komnas Perempuan terus mendorong upaya-upaya menjernihkan perspektif para pengambil keputusan terhadap konstitusi, yang sudah menjamin masyarakat adat.
Komnas Perempuan juga akan dialog dengan kementerian lembaga untuk bisa memberikan perspektif terkait pemenuhan hak asasi manusia (HAM), terutama hak asasi perempuan yang dianggap sebelah mata.
Perempuan merupakan guru bangsa, pemegang pengetahuan peradaban Indonesia, dan menjadi perawat keteladanan bagi keluarga.
Komnas Perempuan perlu dukungan lintas jaringan masyarakat sipil, untuk mendorong dan mengingatkan terus bangsa ini agar tidak lupa pada akar kebudayaan. Bahwa masyarakat adat adalah pembentuk identitas jati diri bangsa ini.
“Ketika masyarakat adat tercerabut secara sistemik, terstruktur dan masif melalui sistem, maka hancurlah identitas bangsa ini,” pungkasnya.
Dewi Kanti, Komisioner Komnas Perempuan menyatakan, ICIR menjadi forum penting menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, terutama perempuan adat yang kerap mengalami diskriminasi berlapis.
Perempuan adat, katanya, tidak hanya menghadapi diskriminasi berbasis gender, juga kerap menjadi korban dari konflik agraria dan perampasan sumber daya alam.
“Perempuan adat sering kali menjadi kekuatan penggerak perubahan, meskipun menghadapi tantangan yang besar. Kami melihat potensi besar dalam gerakan mereka untuk memperkuat peradaban bangsa ini,” ujar Dewi.
Dia juga menyoroti, dalam 20 tahun terakhir, RUU Perlindungan Masyarakat Adat masih terhambat, menunjukkan kurangnya keseriusan pemerintah dalam melindungi masyarakat adat.
Dewi menekankan pentingnya dialog antara pemerintah dan masyarakat adat, terutama dalam memastikan hak-hak perempuan adat. Menurut dia, masyarakat adat adalah penjaga nilai-nilai peradaban yang harus dijaga dan dihormati.
“Jika masyarakat adat dicabut dari sistem nilai dan kebudayaan mereka, maka peradaban bangsa ini akan runtuh.”
Dewi menyerukan, negara lebih melibatkan masyarakat adat dalam proses pengambilan keputusan.
Aharena Matoke, perwakilan Masyarakat Adat Nuaulu, mengatakan, diskriminasi terhadap masyarakat adat masih terjadi, meskipun Indonesia telah merdeka. Salah satu bentuk diskriminasi yang mencolok adalah kurangnya pengakuan terhadap agama leluhur.
“Anak-anak Nuaulu sering kali dipaksa memilih agama yang diakui negara, seperti Hindu, meski kepercayaan leluhur kami sangat berbeda,” kata Aharena.
Diskriminasi ini meluas hingga ke lembaran hasil belajar, anak-anak adat dipaksa memilih agama yang tidak mereka anut.
***
Tahun ini, ICIR berfokus pada demokrasi keseharian, terutama terkait perampasan lahan yang mengancam keberlangsungan ruang hidup masyarakat adat, yang terkena dampak seperti kesulitan akses ke sumber daya alam, kehilangan tempat ritual adat, kehilangan fauna penting dalam upacara adat, serta mengalami hambatan dalam mengurus administrasi kependudukan. Isu lain ialah akses pendidikan dan kerja yang terhambat, serta marginalisasi agama leluhur.
Samsul Maarif dari CRSC Universitas Gadjah Mada menyatakan, ICIR untuk menggali nilai demokrasi di tingkat akar rumput yang sering diabaikan oleh politik demokrasi arus utama.
“ICIR ingin mengangkat nilai-nilai demokrasi di komunitas paling bawah sebagai bentuk respons terhadap demokrasi bangsa yang kerap didominasi kelompok tertentu,” ujar Samsul.
Rani Bandawati, staf Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat (KMA), menyampaikan, kerja sama antara KMA dan ICIR telah berlangsung selama tiga tahun. Kolaborasi lintas sektor sangat penting untuk menangani isu-isu kepercayaan dan masyarakat adat, mengingat keterbatasan KMA dalam menyelesaikan persoalan ini sendirian.
“Kami berharap ICIR dapat memberikan masukan yang berguna bagi program-program Direktorat KMA, terutama dalam kabinet baru.”
********